Jumat, 09 Agustus 2019
Kyai Ubaid: “Isu Urutsewu Harus Jadi Isu Nasional”
Daulat Hijau | August 8, 2019
Kamis (8/8/19) santri FNKSDA Semarang bersama GUSDURian Semarang mendatangi kediaman Kyai Ubaidillah Shodaqoh guna membicarakan masalah Urut Sewu. Kyai Ubaidillah Shodaqoh yang merupakan Rois Syuriah PWNU Jawa Tengah diharapkan dapat turut serta membantu perjuangan warga Urutsewu dalam masalah klaim tanah yang dilakukan oleh TNI AD. Kurang lebih pada pukul 10.00 WIB, keempat santri ini dapat bertemu secara langsung dengan Kyai Ubaid.
Fathan selaku koordinator daerah FNKSDA Semarang mengawali perbincangan dengan mengutarakan maksud dan disambung dengan menjelaskan kronologi permasalahan yang menimpa warga Urutsewu. Kyai pun mendengarkan lalu menyampaikan bahwa akhir-akhir ini banyak sekali masalah yang menimpa petani.
“Sekarang petani mengalami banyak masalah. Ada yang ditangkap karena mempertahankan tanahnya. Ada yang menjual pupuk dan benih sendiri dianggap melanggar undang-undang dan ditangkap. Saya kemarin disowani sama orang Demak yang punya masalah begitu. Harusnya kalau petani berinovasi punya benih yang tahan dari hama itu didukung bukannya ditangkap. Tetapi tidak, semua harus beli di industri. Di daerah pesisir Cilacap, Kebumen itu kan termasuk daerah subur yang hasilnya biasa dijual di supermarket tapi dilabeli produk luar negeri, yang dibeli murah tapi dijual mahal.” Terang Kyai Ubaid.
Setelah membaca berkas berupa surat dan kronologi kasus Urutsewu, Kyai menyarankan supaya isu ini bisa menjadi isu nasional, karena berat melawan TNI. Beliau akan berusaha mengundang para wartawan untuk dapat menaikkan berita ini. Beliau juga berpesan agar warga tidak berhenti istighotsah dan ber-mujahadah, karena itu merupakan alat perjuangan warga NU secara moral spiritual. Selain itu juga beliau akan berkomunikasi dengan orang-orang PWNU Jawa Tengah untuk membahas masalah ini.
Ketika diceritakan bahwa masyarakat sempat mendapatkan tindak kekerasan dari militer, kyai cukup paham. Karena TNI tidak akan segan-segan menggunakan kekerasan. Kalau tidak begitu dengan stigma komunis. Itu yang jadi alat mereka. Apalagi selama ini NU masih vis a vis dengan TNI.
“Hubungan TNI dan NU, terutama TNI AD memang tidak bagus sejak zaman Soeharto. Ingat bagaimana Ahmad Yani membantai para kyai. Dan stigma komunis yang masih sering dipakai itu jadi alat mereka. Ingat juga Gus Dur yang menghapus dwifungsi ABRI sehingga konflik TNI-NU masih ada sampai sekarang.” Kata Kyai Ubaid yang juga menjadi pengasuh di Ponpes Al-Itqon Semarang ini.
Rabu, 08 Juli 2015
Rabu, 20 Maret 2013
Petani Dapat Dukungan Internasional
* Penolakan Penambangan Pasir Besi | 18 Maret 2013
KULONPROGO - Penolakan penambangan pasir besi oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo mendapat dukungan dunia internasional. Forum akademisi internasional di Universitas Filipina yang diikuti PPLP, pada 7-12 Maret, menyepakati agar pertanian di pesisir Kulonprogo dipertahankan.
Perwakilan PPLP yang hadir di forum tersebut, Widodo mengungkapkan, jaringan yang terbangun di forum tersebut juga akan konsisten menyuarakan dan menolak penambangan pasir besi di Kulonprogo. Black and Green Forum 2nd Solidarity Eco Camp tersebut diorganisasi oleh Local Autonomus Network bekerja sama dengan Pusat Studi Dunia Ketiga, Universitas Filipina.
Pembicara dalam forum itu di antarnaya dari Pusat Studi Dunia Ketiga Universitas Filipina, Institut Populasi Universitas Filipina, inisiator Food Not Bombs dari Amerika, permakultur desainer/konsultan dari Belgia, aktivis anti nuklir dari Jepang.
Widodo dari PPLP turut pula sebagai pembicara mengisi dalam sesi diskusi. Forum tersebut dihadiri oleh mahasiswa, kalangan akademisi, organisasi-organisasi lokal, serta aktivis yang bergerak pada isu perjuangan sosial dan lingkungan.
’’Menurut analisis dan keputusan mereka, ini (tambang) harus benar-benar ditolak karena di pesisir Kulonprogo berupa lahan pasir bisa ditanami, ada gumuk pasir yang sebetulnya dilindungi undang-undang internasional. Tetapi tiba-tiba pemerintah Indonesia akan menghilangkan itu,’’ kata Widodo yang juga korlap PPLP, Jumat (15/3).
Harus Dijaga
Karena itu, kondisi pertanian dan alam pesisir tersebut harus dijaga. Sebab, lanjutnya, di mana-mana pertambangan pasti merusak lingkungan. Jangan sampai di pesisir Kulonprogo ini hadir penambangan dan kembali akan merusak lingkungan dan menggusur kehidupan puluhan ribu petani di pesisir Kulonprogo.
’’Jadi kami mendapat dukungan di dunia internasional tentang penolakan terhadap tambang pasir besi,’’ katanya.
Sebagai bentuk dukungan konkrit, mereka akan melakukan aksi-aksi di kampus-kampus internasional. Seperti yang akan dilakukan oleh salah satu pembicara dalam forum tersebut dari Amerika Serikat, Keith McHenry (inisiator Food Not Bombs), yang akan mengkampanyekan persoalan yang dihadapi petani pesisir Kulonprogo tersebut dalam festival internasional di negaranya yang digelar pekan ini.
Adapun langkah perjuangan para petani, kata Widodo, akan tetap bertani sebagai bentuk perlawanan konkrit. Selain itu juga akan tetap mengkampanyekan penolakan penambangan pasir besi melalui forum-forum internasional.
’’Karena perlawanan konkrit petani seperti itu, bertani. Memaksimalkan bagaimana mengelola lahan dan menujukkan kepada siapa saja bahwa ruang hidup yang sudah kita capai kenapa harus diganti dengan pertambangan yang belum jelas,’’ pungkasnya.
Ketua PPLP Supriyadi menyatakan, sejak awal hingga saat ini PPLP tetap memegang komitmen menolak penambangan pasir besi. Menurutnya, untuk perjuangan penolakan itu kampanye keluar melalui forum internasional juga sangat diperlukan. (H87-45)
___
Sumber http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/03/18/218659/Petani-Dapat-Dukungan-Internasional
KULONPROGO - Penolakan penambangan pasir besi oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo mendapat dukungan dunia internasional. Forum akademisi internasional di Universitas Filipina yang diikuti PPLP, pada 7-12 Maret, menyepakati agar pertanian di pesisir Kulonprogo dipertahankan.
Perwakilan PPLP yang hadir di forum tersebut, Widodo mengungkapkan, jaringan yang terbangun di forum tersebut juga akan konsisten menyuarakan dan menolak penambangan pasir besi di Kulonprogo. Black and Green Forum 2nd Solidarity Eco Camp tersebut diorganisasi oleh Local Autonomus Network bekerja sama dengan Pusat Studi Dunia Ketiga, Universitas Filipina.
Pembicara dalam forum itu di antarnaya dari Pusat Studi Dunia Ketiga Universitas Filipina, Institut Populasi Universitas Filipina, inisiator Food Not Bombs dari Amerika, permakultur desainer/konsultan dari Belgia, aktivis anti nuklir dari Jepang.
Widodo dari PPLP turut pula sebagai pembicara mengisi dalam sesi diskusi. Forum tersebut dihadiri oleh mahasiswa, kalangan akademisi, organisasi-organisasi lokal, serta aktivis yang bergerak pada isu perjuangan sosial dan lingkungan.
’’Menurut analisis dan keputusan mereka, ini (tambang) harus benar-benar ditolak karena di pesisir Kulonprogo berupa lahan pasir bisa ditanami, ada gumuk pasir yang sebetulnya dilindungi undang-undang internasional. Tetapi tiba-tiba pemerintah Indonesia akan menghilangkan itu,’’ kata Widodo yang juga korlap PPLP, Jumat (15/3).
Harus Dijaga
Karena itu, kondisi pertanian dan alam pesisir tersebut harus dijaga. Sebab, lanjutnya, di mana-mana pertambangan pasti merusak lingkungan. Jangan sampai di pesisir Kulonprogo ini hadir penambangan dan kembali akan merusak lingkungan dan menggusur kehidupan puluhan ribu petani di pesisir Kulonprogo.
’’Jadi kami mendapat dukungan di dunia internasional tentang penolakan terhadap tambang pasir besi,’’ katanya.
Sebagai bentuk dukungan konkrit, mereka akan melakukan aksi-aksi di kampus-kampus internasional. Seperti yang akan dilakukan oleh salah satu pembicara dalam forum tersebut dari Amerika Serikat, Keith McHenry (inisiator Food Not Bombs), yang akan mengkampanyekan persoalan yang dihadapi petani pesisir Kulonprogo tersebut dalam festival internasional di negaranya yang digelar pekan ini.
Adapun langkah perjuangan para petani, kata Widodo, akan tetap bertani sebagai bentuk perlawanan konkrit. Selain itu juga akan tetap mengkampanyekan penolakan penambangan pasir besi melalui forum-forum internasional.
’’Karena perlawanan konkrit petani seperti itu, bertani. Memaksimalkan bagaimana mengelola lahan dan menujukkan kepada siapa saja bahwa ruang hidup yang sudah kita capai kenapa harus diganti dengan pertambangan yang belum jelas,’’ pungkasnya.
Ketua PPLP Supriyadi menyatakan, sejak awal hingga saat ini PPLP tetap memegang komitmen menolak penambangan pasir besi. Menurutnya, untuk perjuangan penolakan itu kampanye keluar melalui forum internasional juga sangat diperlukan. (H87-45)
___
Sumber http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/03/18/218659/Petani-Dapat-Dukungan-Internasional
Selasa, 19 Maret 2013
Oknum Kades Pelopori Aktivitas Tambang Pasirbesi Urutsewu
Oknum Kades Lembupurwo (AZ) ditengarai memelopori dimulainya aktivitas pertambangan di kawasan pesisir Urutsewu, Kebumen selatan. Investigasi yang dilakukan FPPKS mendapatkan fakta bahwa oknum Kades ini memulai mengakumulasi pasir yang telah melalui proses pemilihan dengan alat separator, di bentang lahan depan rumahnya dan di sisi Jl. Daendels, desa Lembupurwo, Mirit, Kebumen. Alat separator pasirbesi juga nampak bercokol di halaman rumahnya.
Meskipun dengan alasan bahwa pengambilan pasir ini bukan dari pesisir Mirit, aktivitas ini diproyeksikan mengawali fase operasional masuknya aktivitas tambang yang jelas-jelas mengancam pengembangan budidaya pertanian; terutama jenis tanaman holtikultura. Dipastikan bahwa aktivitas penumpukan material ini belum memiliki ijin resmi dan berpotensi meresahkan para petani yang selama ini berjuang menolak masuknya investor pertambangan pasirbesi di wilayahnya. Bahkan saat ini, kegiatan mengakumulasi bahan tambang tengah direncanakan bakal merambah ke desa Kenoyojayan, kecamatan Ambal.
Jejak Konspirasi Penguasa Lokal
Dalam sebuah wawancara tertulis melalui media sosial pada 24 Mei 2012, AZ mengaku dipanggil oleh apa yang disebutnya sebagai orang "pendopo" yang pada intinya ditekan untuk "mengamankan" ijin pertambangan pasir besi di pesisir wilayah Mirit. Pada masa itu, aksi penolakan petani Urutsewu terhadap masuknya investor tambang sedang massif dan menguat, justru karena Bupati telah mengeluarkan ijin usaha pertambangan bagi pt. MNC.
Sejauh mana kebenaran atas teori konspirasi ini, akan dapat dilihat dari perkembangan faktual di lapangan. Yang jelas, menurut pencermatan FPPKS, aktivitas mengakumulasi bahan tambang yang memiliki kandungan besi (Fe) cukup tinggi ini; tidak lah berdiri sendiri. Mineral lain yang terkandung adalah titanium, vanadium dan bahkan uranium. Gencarnya protes yang dilancarkan ribuan petani tidak membuat Bupati mencabut ijin yang telah dikeluarkannya, dengan dalih bahwa persoalan ijin ini telah dimulai prosesnya sejak ia belum menjabat Bupati. Banyak rumor dari "wilayah abu-abu" yang belum terpublish, sementara proses dari pemetaan, studi Amdal hingga dikeluarkannya ijin Bupati sangat manipulatif.
Pemberian ijin pertambangan di kawasan pertanian yang perkembangan budidaya agrarisnya melaju secara mandiri dan signifikan, juga dinilai warga bahwa Bupati telah mengkhianati Visi Misinya sendiri.
Dinilai Nekad
Kegiatan penumpukan material tambang pasirbesi di wilayah Mirit ini dipandang warga sebagai tindakan nekad, mengingat beberapa kali massa petani melakukan aksi demonstrasi penolakan tambang. Seperti sengaja dibuat mencolok mata. Apalagi ini difasilitasi oleh seorang oknum Kades. Menyikapi perkembangan ini, beberapa petani yang sejak awal menolak kehadiran pertambangan pasirbesi di wilayahnya, mengaku geram. Terlebih ditengarai kegiatan ini mulai direncanakan bakal meluas ke wilayah kecamatan lain, Ambal.
FPPKS yang sejak awal konsisten menolak pertambangan pasirbesi di kawasan pesisir Urutsewu, tak kurang geramnya. Selain kehadiran pertambangan pasirbesi ini berpotensi menghancurkan pertanian lahan pesisir, tindakan oknum Kades dinilai provokatif dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal.
Meskipun dengan alasan bahwa pengambilan pasir ini bukan dari pesisir Mirit, aktivitas ini diproyeksikan mengawali fase operasional masuknya aktivitas tambang yang jelas-jelas mengancam pengembangan budidaya pertanian; terutama jenis tanaman holtikultura. Dipastikan bahwa aktivitas penumpukan material ini belum memiliki ijin resmi dan berpotensi meresahkan para petani yang selama ini berjuang menolak masuknya investor pertambangan pasirbesi di wilayahnya. Bahkan saat ini, kegiatan mengakumulasi bahan tambang tengah direncanakan bakal merambah ke desa Kenoyojayan, kecamatan Ambal.
Jejak Konspirasi Penguasa Lokal
Dalam sebuah wawancara tertulis melalui media sosial pada 24 Mei 2012, AZ mengaku dipanggil oleh apa yang disebutnya sebagai orang "pendopo" yang pada intinya ditekan untuk "mengamankan" ijin pertambangan pasir besi di pesisir wilayah Mirit. Pada masa itu, aksi penolakan petani Urutsewu terhadap masuknya investor tambang sedang massif dan menguat, justru karena Bupati telah mengeluarkan ijin usaha pertambangan bagi pt. MNC.
Sejauh mana kebenaran atas teori konspirasi ini, akan dapat dilihat dari perkembangan faktual di lapangan. Yang jelas, menurut pencermatan FPPKS, aktivitas mengakumulasi bahan tambang yang memiliki kandungan besi (Fe) cukup tinggi ini; tidak lah berdiri sendiri. Mineral lain yang terkandung adalah titanium, vanadium dan bahkan uranium. Gencarnya protes yang dilancarkan ribuan petani tidak membuat Bupati mencabut ijin yang telah dikeluarkannya, dengan dalih bahwa persoalan ijin ini telah dimulai prosesnya sejak ia belum menjabat Bupati. Banyak rumor dari "wilayah abu-abu" yang belum terpublish, sementara proses dari pemetaan, studi Amdal hingga dikeluarkannya ijin Bupati sangat manipulatif.
Pemberian ijin pertambangan di kawasan pertanian yang perkembangan budidaya agrarisnya melaju secara mandiri dan signifikan, juga dinilai warga bahwa Bupati telah mengkhianati Visi Misinya sendiri.
Dinilai Nekad
Kegiatan penumpukan material tambang pasirbesi di wilayah Mirit ini dipandang warga sebagai tindakan nekad, mengingat beberapa kali massa petani melakukan aksi demonstrasi penolakan tambang. Seperti sengaja dibuat mencolok mata. Apalagi ini difasilitasi oleh seorang oknum Kades. Menyikapi perkembangan ini, beberapa petani yang sejak awal menolak kehadiran pertambangan pasirbesi di wilayahnya, mengaku geram. Terlebih ditengarai kegiatan ini mulai direncanakan bakal meluas ke wilayah kecamatan lain, Ambal.
FPPKS yang sejak awal konsisten menolak pertambangan pasirbesi di kawasan pesisir Urutsewu, tak kurang geramnya. Selain kehadiran pertambangan pasirbesi ini berpotensi menghancurkan pertanian lahan pesisir, tindakan oknum Kades dinilai provokatif dan berpotensi menimbulkan konflik horisontal.
Minggu, 24 Februari 2013
Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II
Forum
Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)
10
Februari 2013
Membayangkan dunia tanpa
petani/pertanian sama seperti membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula,
membayangkan negara yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara
tanpa kedaulatan. Saat ini, angan-angan (imajinasi) gelap itu justru hendak
diwujudkan oleh penyelenggara negara, dengan cara menjadi budak/antek-antek
korporasi.
Atas nama pembangunan, negara dan
perusahaan semakin gencar mengambil alih tanah petani. Atas nama kesejahteraan,
petani secara perlahan dan teratur diubah menjadi buruh cadangan. Atas
nama kepentingan umum, ruang hidup petani dipersempit bahkan dihilangkan
untuk memperkaya segelintir konglomerat. Atas nama kemajuan, petani dikelabuhi
untuk melepas hak hidupnya, melepas tanahnya, melepas pekerjaannya, melepas
jatidirinya, melepas kehormatannya sebagai rakyat; sebagai manusia.
Apa yang tertulis dalam UUD 1945
(konstitusi) sama sekali bertolak belakang dengan apa yang terjadi dalam
kenyataan. Tertulis bahwa: kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat,
kenyataannya: kedaulatan negara dan bangsa berada dalam kendali konglomerat.
Adalah fakta bahwa pemerintah bukan pelayan rakyat, melainkan hamba korporasi.
Negara yang semula dimaksudkan sebagai alat untuk mengelola kekuasaan dan alat
untuk mencapai kesejahteraan rakyat, kini justru beralih menjadi alat untuk
melestarikan penindasan terhadap rakyatnya sendiri, alat bagi komplotan politik
dan pemodal untuk menumpuk kekayaan. Di kampung bernama Indonesia ini, para
pencuri menyamar menjadi tamu agung dan lancang mengatur tuan rumah pemilik sah
kekayaan ibu pertiwi.
Hukum bukan lagi ruang di mana
rakyat dapat menemukan keadilan, tetapi hukum menjadi pembenaran atas
pelanggaran asas-asas keadilan. Saat ini, pemerintah mencanangkan pengurasan
kekayaan alam Indonesia dan pengusiran terhadap penduduk yang dianggap
menghambat perluasan modal, dengan produk hukum/kebijakan yang membenarkan
tindakan tersebut, antara lain:
- UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum
- UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
- UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
- UU No 17 Tahun 2011 tentang Intelejen Negara
- RUU Keamanan Nasional
- PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025
Sejarah Indonesia adalah sejarah
konflik agraria yang berlangsung sejak jaman kolonial, dan berlanjut hingga
kini. Konflik agraria belum selesai atau sengaja dirawat untuk mengukuhkan
tatanan yang menguntungkan penguasa dan pengusaha. Dan, di dalam konflik
agraria itulah, aksi-aksi kekerasan terhadap rakyat dilakukan oleh aparat negara
dan dilegitimasi atas nama undang-undang. Kriminalisasi, teror, intimidasi,
penculikan, dan penembakan terhadap petani/pejuang hak-hak rakyat adalah contoh
nyata bahwa negara memilih menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Sementara, label kekerasan justru disematkan kepada rakyat yang dianggap
menghambat masuknya modal, dengan dalih bahwa: aparat negara menjaga
stabilitas keamanan (modal). Kekerasan juga dilakukan oleh elemen
masyarakat dengan cara mendukung wacana ala negara dan korporasi, dengan slogan
perjuangan: melawan tanpa kekerasan, agar rakyat tidak berbuat apapun
ketika negara mengkhianati amanat rakyat. Tindakan rakyat untuk
mempertahankan/merebut kembali hak-haknya bukanlah kekerasan, melainkan
perjuangan sebagaimana perjuangan bersenjata para pejuang kemerdekaan di jaman
kolonial.
Konflik agraria adalah tanda bahwa
rakyat belum merdeka, bahkan bukan hanya rakyat, melainkan juga tanda bahwa
negara telah kehilangan kedaulatannya. Kemerdekaan bukanlah kebebasan tanpa
batas, bukan pula antikerjasama, kemerdekaan adalah lepas dari ketergantungan;
berdaulat dalam mengambil keputusan; dan semangat untuk mengandalkan kekuatan
sendiri.
Forum Komunikasi Masyarakat Agraris
digagas, dirumuskan, dan dibentuk oleh komunitas-komunitas petani/masyarakat
yang menjadi korban persekongkolan Negara dengan Korporasi atas sumberdaya
agraria (ruang hidup). Dengan tema: Menuju Gerakan Akar Rumput yang Mandiri,
FKMA ke-2 meletakkan kembali posisi rakyat di atas negara, dan meletakkan
korporasi di bawah kendali negara. Dengan tetap waspada terhadap upaya-upaya
perampasan sumberdaya agraria/pasar tanah, FKMA ke-2 menghasilkan butir-butir
sebagai berikut:
1.
Melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan akibat kejahatan korporasi,
negara dan persekongkolan keduanya dalam pengurusan sumberdaya
alam/agraria, yaitu:
a. Menolak latihan TNI dan ujicoba
senjata berat oleh TNI/AD, pertambangan pasir besi di Kebumen.
b. Menolak pertambangan pasir besi
dan Jalur Jalan Lintas Selatan Jawa di Kulon Progo.
c. Menolak pertambangan pasir besi
dan PLTN, PLTU, di Bandungharjo dan Balong, Jepara.
d. Menolak pertambangan karst dan
pendirian pabrik semen di pegunungan Kendeng, Pati.
e. Menolak privatisasi air tanah
oleh Proyek Pengembangan Gas Jawa (PPGJ) di Kradenan, privatisasi air
oleh PT Gendhis Multi Manis di Bentolo, dan pendirian pabrik semen di
pegunungan Kendeng, Blora.
f. Menolak rencana pertambangan
pasir besi di Wotgalih, dan menuntut penghentian pertambangan sepanjang pesisir
selatan Lumajang.
g. Menuntut pemulihan hak hidup
sepenuhnya korban LAPINDO dan bukan sekedar ganti rugi tanah dan bangunan dan
penolakan pengeboran LAPINDO di Sidoarjo.
h. Menolak penggusuran oleh
Pemerintah Kabupaten Bantul dengan dalih Pelarangan Pelacuran menurut Perda No
5 Tahun 2007, di Parangtritis, Bantul.
i. Menuntut pembubaran PTPN VII
Cinta Manis dan menolak keterlibatan TNI/POLRI dan paramiliter (preman) dalam
penanganan konflik agraria, di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
j. Menolak pembangunan pabrik Aqua
Danone dan Pembangunan Proyek Geothermal, di Padarincang, Banten.
k. Menolak pertambangan pasir di
Ciamis dan Tasikmalaya.
2.
Menyerukan/mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk mendukung perjuangan
gerakan akar rumput menuju gerakan yang mandiri.
3.
Memaksa pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi serta membebaskan petani
dan pejuang hak-hak rakyat dari tahanan akibat konflik agraria.
4.
Memerintahkan kepada Presiden RI dan jajaran penyelenggara negara untuk
mewujudkan hak-hak rakyat atas sumberdaya agraria/ruang hidup .
5.
Menyerukan korporasi untuk menghentikan segala upaya perampasan/pengambilalihan
lahan yang menjadi ruang hidup rakyat.
6. Mengecam keberpihakan TNI/Polri dan paramiliter pada
korporasi dan menolak aksi-aksi kekerasan TNI/Polri dan paramiliter dalam
penanganan konflik sosial.
7. Memerintahkan kepada segenap penyelenggara negara untuk
tidak membuat atau mencabut kebijakan yang menjadi legitimasi bagi perampasan
hak rakyat, terutama hak atas sumberdaya agraria.
8.
Mengecam segala bentuk persekongkolan antar elemen masyarakat, seperti LSM,
parpol, gerakan mahasiswa, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan,
institusi pendidikan/akademisi, media, dan sebagainya yang melemahkan
perjuangan gerakan akar rumput/rakyat dalam memperjuangkan keadilan agraria.
9.
Menyerukan solidaritas untuk kelompok-kelompok masyarakat yang terampas
hak-haknya di seluruh dunia.
Yogyakarta, 10 Februari 2013
- Kelompok Tani BERDIKARI, Sumedang
- Urutsewu Bersatu, Kebumen
- Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), Kulon Progo
- Forum Silaturhmi Masyarakat Wotgalih (FOSWOT), Lumajang
- Forum Nelayan (FORNEL) dan Persatuan Masyarakat Balong (PMB) Jepara
- Serikat Petani Blora Selatan, Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) Blora
- Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) dan Sedulur Sikep, Pati
- Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Front Pemuda Rengas (FPR) Ogan Ilir, Sumatera Selatan
- Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP), Parangtritis, Bantul
- Suara Korban Lumpur LAPINDO/AL FAZ, Sidoarjo
- BALE RUHAYAT, Ciamis dan Tasikmalaya
- Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Aqua Danone (GRAPAD), Banten
Delegasi 12 Komunitas Petani FKMA
tengah membacakan Pernyataan Sikap Kongres Petani Otonom II
Rabu, 20 Februari 2013
Petisi Kepada Presiden untuk Penyelesaian Konflik Agrarian
[Document Transcript]
Surat Terbuka Forum Indonesia
untuk Keadilan Agraria kepada Presiden
Republik Indonesia untuk Penyelesaian Konflik
Agraria
Bapak Presiden yang kami
hormati,
Setelah mengikuti dengan
saksama perkembangan yang terjadi akhir-akhir
ini terkait dengan konflik agraria di
berbagai wilayah kepulauan Indonesia, maka
kami sebagai pengajar, peneliti dan pemerhati
studi agraria di Indonesia yang
bergabung dalam Forum Indonesia untuk
Keadilan Agraria, menyatakan keprihatinan yang
mendalam.
Berdasarkan kajian, pengalaman
dan pengamatan kami terhadap persoalan agraria,
kami sampaikan pendapat dan usulan kepada
Bapak, sebagaimana butir-butir di bawah ini.
1. Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyatakan tujuan
pembentukan Pemerintahan Negara Indonesia antara lain adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Berdasarkan tujuan tersebut, implementasi Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945 sepenuhnya menjadi tanggung jawab
negara. Penguasaan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat baik untuk generasi saat
ini maupun masa mendatang , yang harus
dimaknai ke dalam empat prinsip: (i)
kemanfaatan dan pemerataan sumberdaya alam
bagi rakyat;
(ii) perlindungan atas hak
azasi manusia;
(iii) partisipasi rakyat dalam
menentukan akses, alokasi dan distribusi
sumberdaya alam, serta;
(iv) penghormatan terhadap hak
rakyat secara turun-‐temurun dalam
memanfaatkan sumberdaya alam.
2. Fungsi legislasi, regulasi,
perencanaan, dan alokasi pemanfaatan serta
pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah
dan sumberdaya alam oleh negara harus
berlandaskan pada mandat yang diberikan oleh
UUD 1945 yang sudah ditetapkan pada
angka (1) yaitu untuk sebesar‐besarnya perlindungan terhadap hak‐hak bangsa Indonesia, termasuk
kelompok masyarakat rentan, yakni masyarakat hukum
adat, golongan miskin, perempuan, petani dan nelayan.
3. Pembangunan ekonomi yang
sehat memerlukan penataan penguasaan dan
pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang
adil dan berkelanjutan sebagai basis
penguatan ekonomi rakyat. Demikian pula diperlukan
partisipasi masyarakat secara hakiki. Untuk
mencapai hal tersebut, diperlukan kemauan
politik yang sungguh-sungguh dan konsisten
serta jaminan perlindungan hukum yang
nyata terhadap kelompok masyarakat rentan,
utamanya masyarakat tak bertanah (tunakisma)
dan tidak memiliki akses terhadap tanah
dan sumberdaya alam.
4. Reformasi hukum dan kebijakan
yang komprehensif yang mengacu pada prinsip‐ prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan
sumberdaya alam belum dilaksanakan.
Empat hal mengindikasikan
situasi ini:
i)
adanya beberapa ketentuan dalam
undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945;
ii) adanya ketidak‐harmonisan dan ketidak‐sinkronan diantara peraturan perundang‐undangan yang mengatur tentang
sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
iii)
adanya ketidak-‐sinkronan antara
peraturan perundangan-‐undangan sumberdaya
alam dan lingkungan dengan peraturan
yang mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi;
iv)
banyaknya peraturan daerah yang bersifat
eksploitatif dan bermotif kepentingan jangka pendek.
Sebagai akibatnya, keberlanjutan pembangunan
Indonesia terancam. Bencana lingkungan dan
degradasi sumber daya alam meluas ke
berbagai wilayah Indonesia.
5. Kebijakan dan praktik
penerbitan izin, khususnya bagi usaha skala
besar, yang ada selama ini -di
satu pihak- belum mengindahkan prinsip hukum
dan tata kelola yang baik, sarat
korupsi, melampaui daya dukung lingkungan,
tidak mengakui hak-hak dan membatasi akses
kelompok masyarakat rentan utamanya mereka
yang tidak bertanah (tunakisma).
Di lain pihak, terdapat
konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir
orang/badan hukum yang mengakibatkan lebarnya
kesenjangan penguasaan dan pemilikan tanah.
Demikian pula terdapat sejumlah
perjanjian investasi dan perdagangan
bilateral dan multilateral yang berseberangan
dengan semangat keberlanjutan sosial dan
lingkungan hidup.
6. Masalah-masalah pada angka (4) dan (5) tersebut
menjadi penyebab muncul, bereskalasi dan tidak
terselesaikannya konflik agraria serta tidak diatasinya
kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup. Penyelesaian konflik lebih
mengedepankan penyelesaian legal formal dengan
mengabaikan keadilan substantif. Akibatnya,
konflik agraria justru semakin meningkat.
Sebagai gambaran, Badan
Pertanahan Nasional (BPN) RI menyatakan ada
sekitar 8.000 konflik pertanahan yang
belum terselesaikan. Sawit Watch menyebutkan
adanya sekitar 660 konflik di perkebunan
kelapa sawit dan Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) menyebut konflik
agraria di sektor perikanan sepanjang
2012 melibatkan sedikitnya 60 ribu nelayan.
Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
menemukan sekitar 1.700 konflik agraria, mencakup
kasus-kasus perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Khusus di tahun 2012, KPA
mencatat 156 petani ditahan tanpa proses hokum yang benar, 55 orang terluka dan
dianiaya, 25 petani tertembak dan 3 orang tewas akibat
konflik agraria.
7. Konflik agraria semakin
tidak terdeteksi secara dini karena belum
optimalnya penanganan pengaduan konflik. Di
samping itu, konflik bereskalasi karena
tindak kekerasan yang diduga dilakukan
oleh aparat keamanan yang seharusnya
berdiri di atas semua pihak, tetapi
pada umumnya justru melindungi kepentingan
pemodal dengan cara yang patut diduga
bekerja sama dengan perusahaan-‐perusahaan besar untuk menguasai
tanah/sumber daya alam yang diklaim oleh
masyarakat hukum adat atau masyarakat lokal
lain.
8. Pembangunan Indonesia yang
berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi,
keadilan sosial, kesetaraan, dan pelestarian
fungsi lingkungan tidak akan mencapai
tujuannya jika konflik agraria tidak diselesaikan
atau diselesaikan hanya dengan cara
represif. Untuk mendukung hal tersebut
diperlukan kemauan politik yang kuat,
sungguh-‐sungguh, konsisten, progresif, dan
memberikan perlindungan kepada kelompok rentan; disertai
implementasi kebijakan yang tepat dengan dukungan
akademisi, masyarakat madani, dan aparat
keamanan.
9. Terkait dengan butir-‐butir pandangan di atas, kami
mengusulkan kepada Bapak Presiden hal-hal
berikut.
A.
Melaksanakan seluruh arah kebijakan dan
mandat Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam secara konsisten dan
memantau pelaksanaannya secara transparan,
berkelanjutan dan akuntabel dengan membentuk
jaringan pemantau antar pemangku kepentingan.
B. Mengupayakan penyelesaian konflik
agraria secara berkesinambungan, intensif dan
terkoordinasi dengan cara:
1). Membentuk lembaga independen
dengan tugas:
a) Mendaftar, mengadministrasikan dan
memverifikasi kasus‐kasus konflik
agraria yang diadukan oleh kelompok
masyarakat secara kolektif;
b) Melakukan audit atas ijin-‐ijin pemanfaatan tanah dan
sumberdaya alam yang diberikan Kementerian,
Lembaga dan Pemerintah Daerah yang
menimbulkan konflik-konflik agraria;
c) Membuat dan menyampaikan
rekomendasi penyelesaian kasus‐ kasus konflik
agraria tersebut kepada para pihak yang
terlibat di dalam konflik;
d) Memfasilitasi penyelesaian konflik
melalui mediasi, negosiasi dan arbitrasi;
e) Melakukan sosialisasi, koordinasi
dan kerjasama dengan kementerian dan
lembaga pemerintah non‐Kementerian.
2). Mendorong Kepala Pemerintah
Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota untuk:
a) Identifikasi dan inventarisasi
konflik‐konflik yang sedang berlangsung
serta deteksi dini potensi konflik
pengelolaan sumberdaya alam;
b) Fasilitasi proses-proses
penyelesaian konflik agraria yang berlangsung
di daerah masingmasing;
c) Identifikasi dan verifikasi
masyarakat hukum adat dalam rangka pengakuan
terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.
3. Merevisi Instruksi Presiden
(Inpres) No.2 Tahun 2013 tentang Penanganan
Gangguan Keamanan Dalam Negeri karena:
(i) Inpres ini lebih
fokus pada penyelesaian konflik yang timbul
di permukaan melalui pendekatan keamanan
tetapi tidak mengupayakan tindakan korektif terhadap
akar konfliknya; (ii) Inpres ini tidak
dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik
agraria karena tidak melibatkan menteri-‐menteri terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam.
4. Memerintahkan Kapolri dan
Panglima TNI untuk:
a) Mengusut tuntas tindak
kekerasan yang dilakukan oleh aparat
Polri/TNI terhadap masyarakat dan aktivis LSM
terkait dengan konflik-‐konflik agraria;
b) Menghentikan penggunaan cara-‐cara kekerasan oleh aparat; dan
c) Membebaskan aktivis LSM warga
masyarakat hukum adat, petani dan nelayan
yang saat ini ditangkap dan ditahan
oleh aparat kepolisian.
C. Menugaskan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia untuk memimpin
pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan
perundang-‐undangan di bidang agraria dan
pengelolaan sumberdaya alam yang tumpang
tindih dan bertentangan satu sama
lain, dengan melibatkan akademisi dan
masyarakat madani. Pengkajian ulang dilakukan
berlandaskan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria
dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam
rangka pengkajian ulang perlu diterbitkan
Peraturan Presiden sebagai landasan moratorium
penyusunan peraturan perundangan-undangan di
bidang agraria dan sumberdaya alam. Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia
mengkoordinasikan revisi peraturan perundang-undangan
yang dimaksud.
D. Menugaskan kepada Pimpinan
kementerian terkait dengan sumberdaya agraria
dan Badan Pertanahan Nasional untuk:
a) Melakukan moratorium pemberian
ijin pemanfaatan sumberdaya alam atau hak
atas tanah selama dilakukan audit oleh
lembaga independen;
b) Mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan yang dapat mencegah dampak
negatif terhadap lingkungan hidup dan
konflik agraria;
c) Melaksanakan Undang-‐Undang Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik.
E. Mendorong Kementerian terkait
dan Badan Pertanahan Nasional untuk:
a) Mendukung percepatan pembentukan
Undang-‐Undang yang mengatur tentang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat;
b) Mendukung Pemerintah
Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan proses identifikasi
dan verifikasi keberadaan masyarakat hukum
adat.
F. Menugaskan kepada Menteri Kehutanan untuk segera menyelesaikan konflik pada desa-desa
di dalam, berbatasan dan sekitar kawasan
hutan.
G. Membentuk kementerian yang
bertanggung jawab mengkoordinasikan kebijakan
dan implementasi kebijakan di bidang
pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan
hidup.
Jakarta 7 Februari 2013
Forum Indonesia untuk Keadilan
Agraria (nama-‐nama terlampir)
Lampiran nama-nama:
1. Prof. Dr. Sediono M.P.
Tjondronegoro (Sajogyo Institute)
2. Prof. Dr. Gunawan Wiradi
(Sajogyo Institute)
3. Prof. Dr. Maria S.W.
Sumardjono, S.H., MCL, MPA (Universitas
Gadjah Mada)
4. Prof. Arie Sukanti Hutagalung,
S.H., MLI (Universitas Indonesia)
5. Prof. Soetandyo Wignjosoebroto,
MPA (Universitas Airlangga)
6. Prof. Dr. Nurhasan Ismail,
S.H., M.Si (Universitas Gadjah Mada)
7. Prof. Dr. Ir. Hariadi
Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor)
8. Prof. Dr. Suhariningsih, S.H.,
SU (Universitas Brawijaya)
9. Dr. Ida Nurlinda, S.H.,
M.H. (Universitas Padjadjaran)
10. Dr. Soeryo Adiwibowo (Institut
Pertanian Bogor)
11. Prof. Dr. Hj. Farida
Patittingi, S.H., M.Hum (Universitas Hasanuddin)
12. Prof. Dr. Ronald Z.
Titahelu, S.H., M.S (Universitas Pattimura)
13. Prof. Dra. M.A. Yunita.
T. Winarto, M.S., M.Sc, Ph.D (Universitas
Indonesia)
14. Prof. Dr. Endriatmo Sutarto
(Institut Pertanian Bogor)
15. Prof. Dr. Muhammad Bakri,
S.H., M.S (Universitas Brawijaya)
16. Prof. Dr. Ir. Joenil
Kahar (Institut Teknologi Nasional Bandung)
17. Prof. Dr. Ir. Udiansyah,
M.S (Universitas Lambung Mangkurat)
18. Myrna A. Safitri, Ph.D
(Universitas Presiden)
19. Dr. Kurnia Warman, S.H.,
M.Hum (Universitas Andalas)
20. Dr. Abdul Wahib Situmorang
(Universitas Sriwijaya)
21. Dr. Taqwaddin Husin, S.H.,
S.E., M.S (Universitas Syiah Kuala)
22. Noer Fauzi Rachman, Ph.D
(Sajogyo Institute)
23. Dr. Satyawan Sunito (Institut
Pertanian Bogor)
24. Mia Siscawati, Ph.D (Sajogyo
Institute)
25. Joeni Arianto Kurniawan, S.H.,
M.A (Universitas Airlangga)
26. P. Donny Danardono, S.H.,
M.A (Unika Soegijapranata)
27. Awaluddin Marwan, S.H., M.H.,
M.A (Universitas Diponegoro)
28. Feri Amsari, S.H., M.H
(Universitas Andalas)
29. Yance Arizona, S.H. M.H
(Epistema Institute)
30. Mumu Muhajir, S.H (Epistema
Institute]
31. R. Herlambang Perdana
Wiratraman, S.H., M.A (Universitas Airlangga)
32. Lilis Mulyani, S.H., LL.M
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
33. Dr. Herry Yogaswara, M.A
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia)
34. Dr. Abdul Aziz, SR, M.Si
(Center for Election and Political Party,
FISIP UI)
35. Andiko, S.H., M.H (Peneliti,
HuMa)
36. Feby Ivalerina Kartikasari,
S.H., LL.M (Unika Parahyangan)
37. Deni Bram, S.H., M.H.
(Universitas Pancasila)
38. Tristam P. Moeliono, Ph.D
(Unika Parahyangan)
39. Armen Yasir, S.H., M.Hum
(Universitas Lampung)
40. Maret Priyanta, S.H., M.H
(Universitas Padjadjaran)
41. Hengki Andora, SH., LL.M
(Universitas Andalas)
42. Dr. Christine Wulandari
(Universitas Lampung)
43. A. Joni Minulyo, S.H.,
M.H (Unika Parahyangan)
44. Dr. Cornelius Tangkere, S.H.,
M.H (Universitas Sam Ratulangi)
45. Rosnidar Sembiring, S.H.,
M.Hum (Universitas Sumatera Utara)
46. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum
(Universitas Bina Nusantara)
47. Dr. Hufron, S.H., M.H
(Pusat Studi Hukum dan Desentralisasi)
48. Ir. H. Niel Makinuddin,
M.A (Pemerhati Sosial dan Lingkungan
Kaltim)
49. Kussaritano, S.Th, M.Th
(Peneliti, Mitra LH Kalimantan Tengah)
50. Oki Hajainsyah Wahab, S.IP,
M.H (PDIH Universitas Diponegoro)
51. Dr. Tisnanta, S.H., M.H
(Universitas Lampung)
52. Rudy, S.H., LL.M, LL.D
(Universitas Lampung)
53. Ade Arif Firmansyah, S.H.,
M.H (Universitas Lampung)
54. F.X. Sumardja, S.H., M.H
(Universitas Lampung)
55. Munafrizal Manan, S.H., S.Sos,
M.Si, M.IP (Universitas Al-‐Azhar Indonesia)
56. Praja Wiguna, S.Sos (Peneliti,
Yabima Indonesia)
57. Asep Yunan Firdaus, S.H.,
M.H (Peneliti, Epistema Institute)
58. Siti Rakhma Mary Herwati,
S.H., M.Si (Peneliti, HuMa)
59. Abidah Billah Setyowati, M.A
(PhD Candidate, Rutgers University)
60. Drs. R. Yando Zakaria
(Pengajar tamu, UGM)
61. Meifita Handayani (Peneliti
IRE)
62. Ir. Didin Suryadin (Peneliti,
HuMa)
63. Dr. Ridho Taqwa (Universitas
Sriwijaya)
64. Ir. Reny Juita, M.Sc
(Peneliti independen)
65. Erwin Dwi Kristianto, S.H
(PMLP, Unika Soegijapranata)
66. Luh Rina Apriani, S.H.,
M.H (Universitas Pancasila)
67. Darmawan Triwibowo, S.P.,
M.Sc, M.A (Perkumpulan Prakarsa)
68. Ir. Zaima Mufarini, M.Si
(Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah)
69. Dr. Pitojo Budiono
(Universitas Lampung)
70. Rudi Yusuf Natamihardja, S.H.,
DEA (Universitas Lampung)
71. M. Harya Ramdhoni, S.IP,
M.A (Universitas Lampung)
72. Drs. Hertanto, M.Si
(Universitas Lampung)
73. Imam Koeswahyono,S.H.,MH
(Universitas Brawijaya)
74. Herlindah, S.H., M.Kn.
(Universitas Brawijaya)
75. M. Hamidi Masykur, S.H.,
M.Kn (Universitas Brawijaya)
76. Amelia Sri Kusuma Dewi,
S.H., M.Kn (Universitas Brawijaya)
77. Fachrizal Affandi, S.Psi,
S.H., M.H (Universitas Brawijaya)
78. Bambang Pratama, SH., M.H
(Universitas Bina Nusantara)
79. Dr. Ir. Suporaharjo, M.Si
(Peneliti LATIN)
80. Yunety Tarigan, S.E., M.Si
(Peneliti independen)
81. Restaria F. Hutabarat, S.H.,
M.A (Universitas Presiden)
82. Nurul Firmansyah, S.H., M.H
(Peneliti Q-‐Bar)
83. Airlangga
Pribadi, S.IP, M.A (Universitas Airlangga)
84. Maria Francisca, S.H., S.E,
M.Kn (Universitas Presiden)
85. Jomi Suhendri, S.H., M.H
(Universitas Ekasakti)
86. Dr. M. Muhdar, S.H.,
M.Hum (Peneliti, Prakarsa Borneo)
87. M. Nasir, S.H., M.H
(Universitas Balikpapan)
88. Rosdiana, S.H., M.H (Peneliti,
Prakarsa Borneo)
89. Dr. Iwan Permadi, S.H.,
M.H (Universitas Brawijaya)
90. Rahmina, S.H. (Peneliti,
Prakarsa Borneo)
91. Yamin, S.H., S.U., M.H
(Universitas Pancasila)
92. Linda Y. Sulistiawati, S.H.,
LL.M (PhD Candidate, University of
Washington)
93. Gus Yakoeb Widodo, S.H.,
M.H (Universitas Pekalongan)
94. Dr. Firman Muntaqo, S.H.,
M.Hum (Universitas Sriwijaya)
95. Dr. Dominikus Rato, S.H.,
M.Si (Universitas Negeri Jember)
96. Ngesti Dwi Prasetyo, S.H.,
M.H (Universitas Brawijaya)
97. Arsa Ria Casmi, S.H.,
M.H (Universitas Brawijaya)
98. Aan Eko Widiarto, S.H.,
M.H (Universitas Brawijaya)
99. Dr. Rachmad Safa’at, S.H.,
M.Si (Universitas Brawijaya)
100. Yusdianto, S.H., M.H
(Peneliti, PKKPUU)
101. Farhan, S.H. (Peneliti Forum
Petani Aryo Blitar)
102. Dr. Semiarto Aji Purwanto
(Universitas Indonesia)
103. Dr. Arif Satria (Institut
Pertanian Bogor)
104. Dr. Kotan Y. Stefanus,
S.H., M.Hum (Universitas Nusa Cendana)
105. Ahmad Nashih Luthfi, M.A
(Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional)
106. Eko Cahyono, M.Si (Sajogyo
Institute)
107. Dr. Ir. Rilus A.
Kinseng, M.A (Institut Pertanian Bogor)
108. Dr. Setia P. Lenggono
(Universitas Widya Gama Mahakam/LPPM IPB)
109. Siti Fikriyah Khuriyati,
S.H., M.Si (Lapera Indonesia)
110. Magdalena Triwarmiyati D.W.,
S.S., M.Si (Unika Atma Jaya Jakarta)
111. M. Nazir, M.A (Sekolah
Tinggi Pertanahan Nasional)
112. Dr. Oloan Sitorus, S.H.,
M.S (Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional)
113. Bayu Eka Yulian, S.P
(Institut Pertanian Bogor)
114. Prayekti Muharjanti, S.H.,
M.Sc (Peneliti, Indonesian Centre for
Environmental Law)
115. Nurul Widyaningrum, M.S
(Akatiga)
116. Dr. Hermansyah (Universitas
Tanjungpura)
117. Rina Mardiana, S.P., M.Si
(Institut Pertanian Bogor)
118. Dr. Ir. Bramasto Nugroho,
M.S (Institut Pertanian Bogor)
119. Dr. Stefanus Laksanto Utomo,
S.H., M.H (Universitas Sahid)
120. Dr. Endang Pandamdari S.H.,
M.H.,M.Kn (Universitas Trisakti)
121. Irene Eka Sihombing,
S.H.,M.H., M.Kn (Universitas Trisakti)
122. Suparjo Suyadi, S.H.,M.H
(Universitas Indonesia)
123. Hendriani Parwitasari, S.H.,M.Kn
(Universitas Indonesia)
124. Marlisa Qadarini, S.H., M.H
(Universitas Indonesia)
125. Rafael Edy Bosko, S.H.,
LL.M (Universitas Gadjah Mada)
126. M. Riza Damanik, S.T.,
M.Si (Indonesia for Global Justice)
127. Eko Indrayadi (Peneliti
independen)
128. Idham Arsyad, S.Ag (Mahasiswa
Pascasarjana IPB)
129. Ir. Firman Hidayat, M.T
(Mahasiswa Pascasarjana IPB)
130. Agung Wardana, S.H., LL.M
(Undiknas)
131. Albertus Hadi Pramono, M.A
(Sajogyo Institute)
132. AH. Asari Tr. S.H., M.H
(Universitas Pekalongan)
133. Febri Meutia, S.H., M.Kn
(Universitas Pancasila)
134. Rr. Restisari J. S.H.,
M.H (Universitas Pancasila)
135. Abetnego T., S.E (Peneliti
independen)
136. Erni Dianawati, S.H., M.H
(Universitas Pancasila)
137. Zuraida Balweel, S.H., M.Kn
(Universitas Pancasila)
138. Dr. Muhammad Taufik Abda
(Center for Study and Advocacy of the
Region, Aceh)
139. Riza V. Tjahjadi (Biotani
Bahari Indonesia)
140. Agung Wibowo, S.Hut, M.Si
(Universitas Palangkaraya)
141. Dr. Tarech Rasyid, M.Si
(Universitas IBA, Palembang)
142. Ir. J.J. Polong (Universitas
Sriwijaya)
143. Irene Mariane, S.H., M.H
(Universitas Pancasila)
144. Dr. Laksmi Adriani Savitri
(Universitas Gadjah Mada)
145. Henri Subagiyo, S.H (Peneliti
Indonesian Centre for Environmental Law)
146. Listyowati Sumanto, S.H., M.H
(Universitas Pancasila)
147. Lisken Situmorang, S.Si, M.Si
(Peneliti Independen)
148. M. Shohibuddin, M.Si
(Institut Pertanian Bogor)
149. Ir. Nurka Cahyaningsih, M.Si
(Peneliti Independen)
150. Ir. Martua T. Sirait,
M.Sc (PhD Candidate, Institute of Social
Studies)
151. Grahat Nagara, S.H (Peneliti,
Silvagama)
152. Bernadeta Resti Nurhayati,
S.H., M.Hum (Unika Soegijapranata)
153. Dr. Mohammad S. Tavip,
S.H., M.Hum (Universitas Tadulako)
Langganan:
Postingan (Atom)